Sabtu, 06 Desember 2008

PAN dan PKS Akan Tentukan Budaya Politik

JAKARTA - Langkah yang akan diambil Partai Amanat Nasional dan Patai Keadilan Sejahtera pada bulan-bulan yang akan datang dalam menyikapi atau berhubungan dengan tiga partai besar, akan menentukan budaya politik dalam sistem presidensial Indonesia pasca Pemilu 2009.

"Masyarakat juga sedang menunggu apakah kedua partai ini akan konsisten dengan suara-suara yang dilontarkan pimpinan dan elite-elite partainya sejak pertengahan tahun lalu," ujar Eksekutif CIRUS Surveyors Group Andrinof A Chaniago di Jakarta, Senin (1/12). .

Masyarakat sudah mencatat, kedua partai ini mencoba melakukan reposisi sejak terjadinya kenaikan harga BBM bulan Mei 2007 dengan melontarkan kritik-krit ik yang keras terhadap kebijakan Pemerintah maupun kepemimpinan Presiden SBY.

Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, menurut Andrinof, pernah melontarkan pernyataan yang menyebutkan, ibarat dalam shalat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah batal sehingga tak lagi bisa diikuti sebagai imam.

Demikian juga dari pihak PKS, menurut Andrinof, sejumlah pernyataan sikap presiden partai dan beberapa tokohnya serta spanduk-spanduk yang dipasang di tempat-tempat umum jelas menunjukkan bahwa PKS ingin pemimpin baru. "Apakah kedua partai akan konsisten, kita tunggu saja beberapa waktu yang tidak lama lagi," ujarnya. (Kompas, 1/12/2008).

Baca Selengkapnya...

Awal Tahun, Ribuan Pekerja Terancam PHK

Disinyalir Sudah 4 Ribu Karyawan Dirumahkan

SAMARINDA. Dampak krisis global yang sudah berlangsung sejak satu tahun terakhir, juga terus mempengaruhi iklim investasi dan industri di Kaltim. Jika ancaman terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam jumlah besar belum terjadi pada tahun ini, tidak demikian untuk 2009 mendatang. Koordinator Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Kaltim Johanes mengakui, pihaknya sudah mendengar selentingan suara, kalau awal tahun 2009 mendatang akan terjadi PHK dalam jumlah besar.

"Untuk 2008 memang belum ada PHK dalam jumlah besar, sebab jumlah uang yang beredar di Kaltim masih bisa membantu iklim industri di Kaltim. Namun pada 2009 mendatang kondisinya akan berubah, atas nama efisiensi perusahaan bakal banyak yang akan melakukan PHK. Dan informasi ini sendiri kami terima dari rekan-rekan pekerja lain," ujar Johanes kepada Sapos belum lama ini.

Ia menerangkan, dampak terburuk dari krisis global ini, ialah dengan menurunnya daya beli masyarakat. Hal itu berlanjut pada tingkat pangsa pasar untuk industri di Kaltim yang juga terus anjlok. Akibatnya sejumlah perusahaan mengaku kesulitan memasarkan hasil produksinya. Dengan demikian, penghasilan perusahaan pun mengalami penurunan.

"Sehingga agar kehidupan perusahaan tetap bisa berlanjut, dilakukanlah berbagai hal efisisnsi. Mulai dari pengurangan produksi, hingga bentuk kebijakan lainnya yang dapat merugikan perusahaan," lanjutnya.

Meski demikian, Johanes menegaskan, akan melakukan penolakan, jika salah satu bentuk efisiensi yang dilakukan perusahaan ialah dengan melakukan PHK masal. Katanya, untuk membantu keuangan perusahaan, pihaknya telah melakukan pengurangan jam kerja. Bahkan, ia mensinyalir tak kurang dari 4 ribu pekerja se-Kaltim yang sudah dirumahkan.

"Hal ini adalah salah satu upaya kami untuk menekan biaya operasional. Akibatnya, kami menduga sudah ada sekitar 4 ribu pekerja di Kaltim yang sudah di rumahkan, baik memang keputusan perusahaan ataupun inisiatif pekerja bersangkutan," terangnya.

Terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kaltim dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Kaltim Masri Hadi mengaku, untuk sementara pihaknya belum menerima satu pun laporan dari perusahaan, yang berencana melakukan PHK Masal.

"Sampai sekarang kondisinya masih aman. Sebab, belum ada perusahaan yang izin untuk melakukan PHK dalam jumlah besar," pungkas Masri Hadi kepada Sapos. (Samarinda Pos, 6/12/2008).

Baca Selengkapnya...

Golput Kaltim Tertinggi di Indonesia

Sosialisasi Kurang, Warga Juga Bosan Banyak Pemilihan
SAMARINDA – Minimnya sosialisasi ditengarai jadi penyebab tingginya angka golput (golongan putih alias tak mencoblos) pada Pilgub Kaltim putaran kedua. Jumlahnya bisa mencapai 50 persen alias yang tertinggi di Indonesia.

Menurut pengamat sosial dan politik Univeritas Mulawarman (Unmul), DB Paranoan, berpendapat bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pelaksanaan Pilgub justru tidak didukung sosialisasi memadai dari KPU Kaltim.

“Saya pikir masyarakat terlihat masa bodoh dengan kondisi politik. Anehnya, penyelenggara juga terkesan adem-ayem, seolah semua masyarakat tahu jadwal pilgub. Waktu yang mepet harusnya dimaksimalkan untuk sosialisasi pelaksanaan,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Unmul ini.

Golput tinggi bisa juga karena sikap antipati masyarakat. Mereka menilai figur pasangan calon tak memberi harapan perubahan. Terlibatnya partai politik (parpol) dalam pilgub juga dinilai Paranoan tak memberi kontribusi maksimal dalam pelaksanaan Pilgub. Bahkan, ada kecenderungan partai politik (parpol) lebih mementingkan pasangan calon yang diusung daripada menarik simpati pemilih untuk ikut dalam pencoblosan.

Tingginya angka golput memang tak dapat mempengaruhi hasil. Pasalnya, tak ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Namun Pranoan menegaskan, yang rugi adalah parpol sendiri karena minimnya dukungan.

“Partai terlihat hanya berada di tingkat elite. Mereka tidak menyentuh permasalahan mendasar, yakni menarik simpati masyarakat mencoblos. Masyarakat sebenarnya sudah bosan dengan banyaknya pemilihan,” tegasnya.

Sementara, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow memprediksi, angkat golput bisa mencapai 50 persen. Jika benar tingkat partisipasi serendah itu, tak pelak, golput Kaltim adalah yang tertinggi dari serangkaian Pilkada yang telah digelar di Tanah Air.

“Meski secara prosedural tak mempengaruhi hasil, namun secara substansial dapat mempengaruhi tingkat legitimasi politik calon yang menang,” timpal Jeirry.

Lebih jauh Jeirry menjelaskan, di negara yang demokrasinya maju seperti di Amerika Serikat (AS), angka golputnya juga tinggi --lebih dari 40 persen. Namun, kondisi tersebut merupakan hal yang lumrah di sana. “Wajar, jika kita sebagai negara yang baru belajar demokrasi mempermasalahkan angka golput,” terang Jeirry.

Penyebab angka golput tersebut, sambungnya, disebabkan berbagai hal. Antara lain lantaran banyak masyarakat tak menerima undangan dan kartu pemilih. Selain itu, juga diakibatkan kondisi cuaca (hujan) di beberapa tempat saat pencoblosan.

Namun diakui, kejenuhan masyarakat terhadap pemilu yang terlalu banyak juga berpengaruh besar. Mereka lebih memilih bekerja, mungkin juga enggan mencoblos karena jagoannya sudah kalah di putaran pertama, di samping sosialisasi KPU yang minim. (Kaltim post, 25/10/2008)

Baca Selengkapnya...