Sabtu, 06 Desember 2008

Golput Kaltim Tertinggi di Indonesia

Sosialisasi Kurang, Warga Juga Bosan Banyak Pemilihan
SAMARINDA – Minimnya sosialisasi ditengarai jadi penyebab tingginya angka golput (golongan putih alias tak mencoblos) pada Pilgub Kaltim putaran kedua. Jumlahnya bisa mencapai 50 persen alias yang tertinggi di Indonesia.

Menurut pengamat sosial dan politik Univeritas Mulawarman (Unmul), DB Paranoan, berpendapat bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pelaksanaan Pilgub justru tidak didukung sosialisasi memadai dari KPU Kaltim.

“Saya pikir masyarakat terlihat masa bodoh dengan kondisi politik. Anehnya, penyelenggara juga terkesan adem-ayem, seolah semua masyarakat tahu jadwal pilgub. Waktu yang mepet harusnya dimaksimalkan untuk sosialisasi pelaksanaan,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Unmul ini.

Golput tinggi bisa juga karena sikap antipati masyarakat. Mereka menilai figur pasangan calon tak memberi harapan perubahan. Terlibatnya partai politik (parpol) dalam pilgub juga dinilai Paranoan tak memberi kontribusi maksimal dalam pelaksanaan Pilgub. Bahkan, ada kecenderungan partai politik (parpol) lebih mementingkan pasangan calon yang diusung daripada menarik simpati pemilih untuk ikut dalam pencoblosan.

Tingginya angka golput memang tak dapat mempengaruhi hasil. Pasalnya, tak ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Namun Pranoan menegaskan, yang rugi adalah parpol sendiri karena minimnya dukungan.

“Partai terlihat hanya berada di tingkat elite. Mereka tidak menyentuh permasalahan mendasar, yakni menarik simpati masyarakat mencoblos. Masyarakat sebenarnya sudah bosan dengan banyaknya pemilihan,” tegasnya.

Sementara, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow memprediksi, angkat golput bisa mencapai 50 persen. Jika benar tingkat partisipasi serendah itu, tak pelak, golput Kaltim adalah yang tertinggi dari serangkaian Pilkada yang telah digelar di Tanah Air.

“Meski secara prosedural tak mempengaruhi hasil, namun secara substansial dapat mempengaruhi tingkat legitimasi politik calon yang menang,” timpal Jeirry.

Lebih jauh Jeirry menjelaskan, di negara yang demokrasinya maju seperti di Amerika Serikat (AS), angka golputnya juga tinggi --lebih dari 40 persen. Namun, kondisi tersebut merupakan hal yang lumrah di sana. “Wajar, jika kita sebagai negara yang baru belajar demokrasi mempermasalahkan angka golput,” terang Jeirry.

Penyebab angka golput tersebut, sambungnya, disebabkan berbagai hal. Antara lain lantaran banyak masyarakat tak menerima undangan dan kartu pemilih. Selain itu, juga diakibatkan kondisi cuaca (hujan) di beberapa tempat saat pencoblosan.

Namun diakui, kejenuhan masyarakat terhadap pemilu yang terlalu banyak juga berpengaruh besar. Mereka lebih memilih bekerja, mungkin juga enggan mencoblos karena jagoannya sudah kalah di putaran pertama, di samping sosialisasi KPU yang minim. (Kaltim post, 25/10/2008)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

assalamualaikum wr.wb...! bagaimana gak banyak yang golput staz..! kita kurang sosialisasi.tolong beri alasan kenapa PKS lebih memilih berkoalisi dgn SBY BUDIONO ? Jazakllah...